85resensi-buku
◕‿◕Salah satu hal saja yang menjadi penafsiran terus-menerus adalah nama dari Papua itu sendiri,  yaitu dari Nethderland Niew Guinea, West Niew Guinea, Irian Barat, Irian Jaya hingga kini menjadi Papua (dan Provinsi Papua Barat).◕‿◕
Oleh Simon Banundi

Judul Buku                  : Suara Suara yang Dicampakkan
Penulis                         : I Ngurah Suryawan
Kata Pengantar          : Victor Yeimo
Jumlah Halaman        : 248
Penerbit                      : Basabasi – Yogyakarta


ONTRAN-ontran tak berkesudahan di Bumi Papua ini dipotret Kaka Ngurah (sa suka menyebut Pak Dosen Antroplogi Unipa yang satu ini kaka saja) dari disiplin keilmuaannya dan sebagai wujud pengabdian seorang akademisi tulen yang serius mengabdi bagi rakyat Papua. “Suara – Suara Yang Dicampakkan” ini ditulis secara menakjubkan pada bukunya yang baru diterbitkan oleh penerbit BASABASI, Yogyakarta tahun 2018.
Semula sa lihat cover buku ini dikirim via WA (WhatsApp) ke saya, ketika (saat itu)  mengetahui seorang aktivis Victor Yeimo memberi kata pengantar pada buku ini saya berprasangka biasa saja. Namun, ketika membaca dan mendalami konten buku ini sa baru menyadari mengapa sang aktivis Viktor Yeimo sebagai ketua KNPB (Komite Nasional Papua Barat) adalah sosok yang sa bilang jitu (tepat) untuk memberi kata pengantar kepada “Suara Suara Yang Dicampakan”, message-nya Kaka Ngurah dan Victor Yeimo seperti bermain alat musik yang berbeda tetapi hanya untuk sebuah intro nada yang satu /sama.
Kaka Ngurah, dosen yang sangat hebat skali dimiliki Unipa (Universitas Papua) Manokwari, dia mampu meramu capacity akademisinya, menulis untuk mayoritas rakyat kecil Papua dari berbagai kalangan dan faksi-faksi yang suaranya tra diakui, trada izin, dan dianggap ormas (organisasi kemasyarakatan) terlarang, pengganggu kamtibmas, separatis/maker dan embel-embel stigma lainnya yang tra tau mo tambah apa lagi…!
Pada suatu direct-flight Garuda (GA-656), Jakarta – Jayapura, karena penerbangan malam itu selama lima setengah jam, saya kemudian gunakan waktu tra tidur untuk habiskan dengan membaca buku yang satu ini. Sa bukan latar belakang antropologi. Akan tetapi sa melihat buku ini memuat discourses riset yang menawan dituangkan kaka Ngurah
Dimulai dari,  Ia (baca: saya) merasakan ada kesalahan dalam perspektif memahami kontribusi ilmu pengetahuan dalam perubahan sosial di tengah masyarakat Papua, dari meyakini kesalahan itu, saya kemudian meyakini bahwa ilmu pengetahuan ilmu sosial humaniora mengalami kekalahan di tengah arus perubahan di tanah Papua. Ilmu pengetahuan menjadi alat untuk kekuasaan dan universitas hanya perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah. Dalam konteks itu, studi ilmu humaniora harus mereposisi diri tidak hanya jadi pelayan kekuasaan, tapi menjadi medium bagi rakyat yang dikalahkan oleh kekuasaan (hlm. 24-25).
Negara dengan aparatusnya mempraktikkan kekerasan dan kekuasaan, akhirnya merenggut kemerdekaan rakyat Papua untuk menyuarakan aspirasinya. Menurut C. Wright Mills, semua politik adalah perjuangan kekuasaan, dan bentuk kekuaaan paling puncak adalah kekerasan. Operasi kekerasan berlangsung untuk menjaga kekuasaan tetap langgeng atas Tanah Papua (hlm. 67).
Di Tanah Papua, peristiwa kekerasan tidaklah berdiri sendiri. Momen-momen tragedi kekerasan melibatkan para aktor, struktur yang mengakibatkan atau mendorong kekerasan berlangsung serta argumentasi (alasan) yang dikonstruksi agar kekerasan tersebut  berlangsung wajar dan terkesan memang bisa diterima dan terjadi di tengah masyarakat.
Salah satu hal saja yang menjadi penafsiran terus-menerus adalah nama dari Papua itu sendiri,  yaitu dari Nethderland Niew Guinea, West Niew Guinea, Irian Barat, Irian Jaya hingga kini menjadi Papua (dan Provinsi Papua Barat). Keseluruhan nama tersebut mengalami ketidakstabilan makna yang mengacu kepada kepentingan kekuasaan di dalamnya. Setiap masa tanah Papua mengalami perubahan nama dengan berbagai makna di dalamnya (hlm. 147).
Memelihara hantu separatis, “stigma separatis menjadi senjata dari negara untuk membungkam ekspresi kebebasan rakyat Papua untuk mengkritisi kebijakan dan penanganan negara di Tanah Papua ”, pemahaman aktor keamanan negara terhadap ekspresi budaya Papua hanya terbatas pada stabilitas keamanan nasional di Papua dilakukan dengan berbagai cara,  sehingga pemahaman terhadap situasi sosial budaya masyarakat sangatlah kurang, bahkan bias dan diskriminatif (hlm. 167-168).
Masyarakat adat di negri ini (Papua) dalam sejarahnya seolah terjepit oleh dua kepentingan besar yang terus mengikutinya. Pertama, kepentingan untuk terus menjaga dan melestarikan tradisi, adat dan kebudayaan yang telah ada selama ini; Kedua, kepentingan transformasi social-budaya yang secara masif menantang dengan memunculkan berbagai dilema, selain berkelindan dengan politik, fokus perhatian dan kapasitas untuk memperjuangkan kapasitas masyarakat adat saat ini justru mendapati tantangan stigma subversif atau separatis (hlm. 189).
Buku ini teramat menyentil isu sipol (hak-hak sipil dan politik) yang bagi saya telah diratifikasi pemerintah RI ke dalam hukum Indonesia (lihat UU No.12 Tahun 2005 dan UU No. 9 Tahun 1998). Akan tetapi, isu tersebut menjadi “terbudaya-bisu” yang dilukiskan oleh penulis berlatar belakang antropolog ini. Tidak hanya di situ saja, kritik tegas juga dilayangkan penulis tanpa basa-basi ke aktor birokrasi dan aktor keamanan, serta jagoan lokal yang selama ini memporak-porandakan rakyat yang telah mengalami kebisuan.
The last comment-nya, buku ini muncul di momen-momen (menjelang) tahun politik, pilkada, pileg dan pilpres (2018-2019). Di sinilah nilai bargaining-nya “Suara-Suara yang Dicampakan”. Saya meyakini, separuh kalangan elite politik buta soal memaknai konteks ini, karena mereka diprogramkan sistem, sebagian lagi tengah menyangkal hati nurani demi menjaga poros politik. Dari situ, buku ini sangat tepat dibaca oleh para aktivis, pengacara HAM, akademisi, mahasiswa, pers, sehingga dapat memperluas persepsi pribadi kita yang kritis, netral dan terutama berpihak pada justice and human rights to “Suara suara yang dicampakan”. Salam hormat kaka penulis Ngurah ..!
Peresensi adalah Koordinator Program LP3BH Manokwari, Papua Barat

buku-opm-1
Buku ke 9 dengan judul Otonomi, Pemekaran dan Merdeka (OPM?)

Oleh
Socrates Sofyan Yoman
Orang Asli Papua berpakaian koteka dan bersenjata laras panjang, Penulis memberi sub judul “Saatnya Kebenaran Bersuara di Tanah Melanesia”. Penulis pun mengutip dua statement Presiden RI Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono yang terkait dengan upaya menjawab permasalahan di Papua, yaitu ‘Bersama-sama mari kita serukan penolakan terhadap fitnah, berita-berita bohong, dan perilaku kasar yang melampaui kepatuta’ yang dikutip dari Kompas edisi 28 Desember 2009.
Statmen berikutnya adalah yang merupakan perkataan langsung SBY tanggal 16 Agustus 2008, yaitu ‘Selesaikan masalah Papua dengan dialog damai, demokratis, jujur, adil dan bermartabat’. Dengan diberi pengantar oleh Prof. Ikrar Nusa Bhakti, buku setebal 136 halaman tersebut disusun dalam 6 BAB, yang membahas 57 pokok bahasan.
Dalam pengantarnya, Profesor Riset bidang Intermestic Affair di Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), mengawali dengan mengungkap sejarah tanah Papua sejak dikuasai Belanda hingga cerita realita kehidupan di Tanah Papua, termasuk kerukunan umat beragama yang saling menghormati dan saling membantu dalam kegiatan social maupun acara-acara keagamaan. Sedangka tentang penulis buku ‘OPM?’ dikatakan bahwa buku-buku karya Socratez mendapat perhatian dari para peminat masalah Papua. “Sayang, hamper semua buku-buku itu dikategorikan sebagai buku terlarang oleh Kejaksaan Agung,” ungkap Ikrar Nusa Bhakti dalam pengantarnya.
Buku-buku Yoman, kata Prof. Ikrar, adalah suara hati seorang pelayan umat di Tanah Papua, meski belum dapat dikategorikan sebagai karya ilmiah. “Terlepas dari itu, buku-buku Yoman yang bukan buku ilmiah melainkan lebih sebagai ‘pamphlet politik’ ini tetap penting untuk dibaca. Karena berisi kesedihan, trauma, impian, serta gagasan mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun Papua,” lanjutnya.
Dalam Bab pendahukuan, Penulis menguraikan alan mengapa bukunya diberi judul OPM? (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka). Yakni, katanya adalah karena selama ini OPM adalah singkatan dari Organisasi Papua Merdeka.
“Saya menggumuli dan merindukan bahwa sudah saatnya stigma yang menindas, memenjarakan dan membunuh umat Tuhan ini harus dihapuskan,” ujar Pemulis masih dalam Bab Pendahuluan.
Dalam Bab yang membahas tentang ‘Otonomi’, penulis menguraikan dua UU Otonomi yang pernah diberlakukan di Indonesia. Yaitu : UU No. 12 Tahun 1969 yang membicarakan tentang pembentukan Provinsi maupun Kabupaten-Kabupaten Otonom di Irian Barat dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang pembahasannya lebih mendominasi.
Menurut Penulis, istilah otonomi bagi umat Tuhan di Tanah Papua bukan hal yang baru. Tentang UU Otsus Tahun 2001, Penulis mengawali dengan pertanyaan kenapa UU itu ada? Apakah itu itikad baik Indonesia terhadap orang Papua? Apakah Otsu situ kemauan orang Papua? Yang langsung diberi jawaban, bahwa Otsus ditawarkan kepada rakyat Papua Barat sebagai penyelesaian menang-menang (win-win solution) tentang masalah status politik Papua, karena adanya tuntutan orang asli Papua untuk menentukan nasib sendiri (self determination).
Dalam Bab awal tersebut, Penulis juga mengutip statmennya di media massa local, yakni di Harian Bintang Papua, Pasific Pos dan Cendrawasih Pos. Namun tidak disebutkan edisi atau tanggal terbitnya, maupuan halaman dengan jelas, ketika berita yang dikutipnya dalam buku OPM? terbit.
Dalam Bab tentang Pemekaran, penulis mengutip perkataan Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Alm), yang dikutipnya dari Senat Mornao 2004:9, yaitu ‘Pemekaran Provinsi Papua adalah keputusan yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan rakyat Papua. Itu bukan pemecahan masalah, namun sumber masalah baru.
Juga terdapat kutipan dari dokumen sangat rahasia tentang operasi di Tanah Papua, yaitu surat yang dikeluarkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan Linmas. Yakni Nota dinas No. 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tangal 9 Juni 2000.
Penulis juga kembali mengutip dari bukunya terdahulu yang menggambarkan pemekaran kabupaten dan provinsi. Yakni digambarkan sebagai sangkar burung, kandang kelinci dan kandang kurungan ternak babi. Dalam bab ini, penulis mengakhiri dengan kutipan opini yang ditulisnya lewat media massa local Pasific Pos, yang berjudul Pemekaran Kabupaten/Kota dan Provinsi di Tanah Papua Barat adalah Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi Gaya Baru edisi 25 September 2009.
Usulkan Lima Solusi Alternatif Penyelesaian Papua
Peluncuran buku karangan Pdt. Socratez S Yoman berjudul OPM (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka). Acara ini juga menghadirkan Pdt. Herman Awom,S.Th dan wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Matius Murib SH.
Pernyataan tersebut, menurut penulis, adalah sudah merupakan representasi (keterwakilan) pemahaman pemerintahdan juga kebanyakan rakyat Indonesia. Penulis dengan tegas dan jelas menyatakan makna ‘Merdeka’ dalam pembahaan bukunya tersebut, adalah kembali pada kemerdekaan dan kedaulatan asli. “Artinya, leluhur dan nenek moyang orang Melanesia orang asli Papua ini sejak dulu telah merdeka dan tidak pernah dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa lain,” demikian ditegaskan penulis.
Lebih tegas lagi pada akhir aline ke-5, dikatakan bahwa, “Singkatnya, orang asli Papua mau bebas dan merdeka dari pendudukan dan penjajahan Indonesia,” tegasnya.
Kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan dengan pengutipan mukadimah UUD 1945 yang dimaknai dan diterjemahkan sebagai keinginan orang Melanesia, yakni “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Setelah mengulas sejarah integrasi (oleh penulis disebut ‘aneksasi’) Papua ke dalam wilayah Indonesia, penulis juga menceritakan sejarah yang terjadi di Tanah Papua. Yakni peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 1961, keluarnya maklumat Presiden Soekarno yang terkenal dengan sebutan ‘Trikora’ 19 Desember 1961, perjanjian New York 1962, perjanjian Roma 30 September 1962, dan peralihan pemerintahan di Papua dari Belanda ke UNTEA (salah satu badan di PBB) 1 Oktober 1962 yang kemudian peralihan dari UNTEA ke Indonesia 1 Mei 1963, juga PEPERA 1969 (Act of Free Choice 1969).
Dalam tulisannya, juga dicantumkan sedikitnya 22 pernyataan protes dan pengakuan dari tokoh maupun pemimpi Negara, yang intinya menyatakan bahwa dalam pelaksanaan PEPERA terdapat kecurangan atau manipulasi, yang di akhir pembahasan tentang ‘Merdeka’ penulis mencantumkan deklarasi HAM PBB tentang hak penduduk asli tanggal 13 November 2007.
Bab 5, penulis menyimpulkan atas tulisan sebelumnya, dengan judul Indonesia gagal mengindonesiakan orang Papua. Dan di awal pembahasannya mengutip pernyataan mantan Presiden RI Soeharto (Alm) pada pertemuannya dengan tokoh-tokoh Papua, terutama Presidium Dewan Papua (PDP) yang dimediasi oleh anggota DPR RI Yoris Raweyai.
“Selama saya menjadi presiden, saya merasa gagal meng-Indonesia-kan orang Papua. Karena, pada awalnya, kami mengirim orang-orang buangan bekas-bekas PKI untuk merebut Papua. Orang-orang ini tidak menunjukkan watak kemanusiaan tapi watak dan perilaku kekerasan dan kekejaman yang tidak manusiawi terhadap orang Papua. Jadi sekarang ini, sudah era demokrasi dan lebih baik kalian berjuanglah dengan cara-cara demokratis,” demikin kutipannya.
Selanjutnya, Penulis menguraikan secara singkat apa yang dialami generasi tua orang asli Papua era 40-an, dan bagaimana pemikiran generasi muda orang asli Papua era 70-an. Juga pertanyaan tentang mengapa sulitnya meng-Indonesia-kan orang Papua?. Yang langsung dijawabnya dengan singkat, yaitu karena orang asli Papua adalah orang Melanesia, bukan orang Melayu.
Diuraikan juga tentang perbincangan Gubernur Papua (Irian Barat) yang pertama Elizer Yan Bonay (Alm) dengan Pangdam XVII Cenderawasih saat itu tentang rakyat Papua yang menyeberang ke PNG, juga perbincangan Mendagri dengan Gubernur Isaac Hindom (Am) dengan topic yang sama.
Penulis juga menguraikan tentang sejumlah orang Papua yang dikatakannya sebagai kelompok pendukung NKRI yang dipaksanakan. Serta pemikiran tentang sejarah dari sejumlah tokoh maupun anggota DPR RI termasuk Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda.
Di Bab terakhir , Penulis mengemukakan tentang seruan dialog damai, oleh sejumlah komponen, seperti Pemerintah Inggris, Gereja-gereja, LIPI, Akademisi dan cendekiawan Papua, anggota Kongres Amerika, komentar Penulis di media massa lokal tentang dialog .
Yang pada pokok tulisannya terakhir, adalah tentang solusi pemikiran dari Penulis, yang diawali dengan sebuah pertanyaan dari Penulis, yaitu ‘Apakah ada ruang yang memungkinkan bagi bangsa Indonesia yang dinilai sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dan berpenduduk mayoritas Islam ini untuk dapat mengukir sejarah di Negara-negara Asia dan Negara berkembang yang bermartabat, simpatik, terhormat, manusiawi, dan bermoral memberikan kesempatan kepada Bangsa Papua Barat untuk mengembangkan dirinya di atas tanah airnya sendiri?’
Alinea terakhir sebelum menuangkan usulannya, penulis menyatakan bahwa Orang Asli Papua mempunyai satu kerinduan, yaitu, pada abad 21 ini, orang asli Papua “mau menikmati setitik harapan dan cahaya” di tanah dan negeri mereka sendiri. Karena itu, solusi sebagai suatu alternatif yang diusulkan oleh penulis adalah :
  1. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak menggunakan kekerasan militer dan berbagai kebijakan yang represif untuk menyelesaikan masalah Papua.
  2. Pemerintah Indonesia diharapkan menghentikan usaha-usaha pengkondisian wilayah dan pembunuhan kebebasan dan demokrasi bagi orang asli Papua.
  3. Pemerintah Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan masyarakat Internasional duduk berbicara atau berdialog secara adil untuk mencari solusi yang bermartabat, terhormat dan manusiawi.
  4. Pemerintah Indonesia memberikan kemerdekaan kepada Papua Barat dengan berbagai komitmen kerja sama dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan.
  5. Pemerintah Indonesia harus mengukir sejarah dalam era ini dan dengan cara membuktikan bahwa Negara berkembang yang mayoritas berpenduduk muslim juga mampu memberikan kesempatan kepada daerah yang diduduki dan dijajah untuk mengatur dirinya sendiri. (tamat)

FB_IMG_1535424898745

Dr Thom Wainggai sang Proklamator 20 tahun dipenjarakan oleh Indonesia karena sebuah keyakinan ideologi


Arti Sebuah Kebebasan
Kita ras Melanesia
Wilayah yang memanjang dari Pasifik Barat sampai ke Laut Arafuru Utara
dan timur laut Australia
Rambut kita keriting dan berkulit hitam
Tanah kita kaya dan hutan kita hijau
Alam yang sakral dengan adat
Tapi kita dipaksa untuk sama dengan mereka
mereka membelenggu kita dengan sebutan putra daerah !
kemudian mereka memecah belah kita dengan desentralisasi
sebuah konsep yang sejatinya milik sang proklamator bangsa Melanesia Barat
tapi mereka baurkan dalam otonomi khusus Indonesia
Apakah kita terlena ?
Dengan jabatan boneka yang mereka berikan ?
Dengan uang yang mampu menembus hati untuk berkhianat !
dengan eforia kekuasaan yang mampu membeli mulut untuk diam
melupakan perjuangan demi semua itu
Kemerdekaan melekat disetiap relung hati ras Melanesia
tapi siapa yang bisa mengukur kedalaman hati?
Apakah kebebasan sesaat bisa menghapuskan sejarah ?
untuk tetap berdiri tegak menindas hati sendiri dalam rezim neo kolonialisme
menjilat ludah sendiri kemudian diam
ketakutan untuk kehilangan zona nyaman demi kepentingan sendiri
apakah itu arti kebebasan? Tidak!
Kebebasan adalah hati yang bebas dari kepentingan
Kebebasan adalah jiwa yang bebas dari belenggu
Kebebasan adalah hak asasi manusia
Apakah kita akan melawan lupa?
lupa bahwa Papua Barat harus merdeka
lupa bahwa Papua Barat Melanesia harus diperjuangkan
lupa bahwa Papua Barat tidak bisa dibeli dengan jabatan
lupa bahwa Papua Barat tidak boleh terkotak kotak
namun mereka menciptakan itu semua
Saudara-saudariku bangsa Melanesia Barat
Dr Thom sang Proklamator bersama para pejuang nasionalis lainnya mengetuk pintu hati kita sekalian
agar tidak lupa akan identitas diri
kebebasan yang seutuhnya dapat kita raih jika kita bersatu melawan rezim
kita bisa dan mampu untuk mewujudkan kemerdekaan Papua Barat
tanpa harus ragu untuk melangkah maju
seperti filosofi yang selalu kita teguhkan
merdeka adalah harga mati !

Pilipus-Robaha

Oleh; Pilipus Robaha
Mulai dari pemikiran Karl Marx yang klasik hingga Lenin, Stalin, Gramsci, Tan Malaka, Soekarno,  dan beberapa pemikir “kiri” hebat di dunia, saya pelajari secara otodidak dari buku-buku yang saya beli di toko buku, dan beberapanya lagi diberikan oleh seorang Bapak yang telah beruban rambut dan jenggotnya, tapi masih mudah dan bersemangat dalam berfikir, juga berzikir. Thank’s pak Sjafttari Wiranegara.
Perkenalan yang otodidak itu cukup merepotkan saya dalam menentukan pilihan. Apa kah saya harus jatuh cinta pada teori mereka dan berkorban demi teori mereka dalam panggung revolusi di Papua? Atau menolak jatuh cinta pada pandangan pertama? Mengingat saya tak punya soko guru marxis yang disebut sebagai “kiri” itu, dan jauh sebelum saya bertemu pandangan dengan teori kiri. Saya memiliki diktat Melanesia Trust, bacaan wajib bagi kader dan anggota organisasi serta pendidik Melanesia Trus yang siap mendidik kami dalam setiap dikpol-dikpol organisasi. sehingga sungguh merepotkan bagi saya dalam menentukan pilihan.
Namun Sebagai seorang aktivis, sungguh omong-kosong jika saya tidak jujur untuk mengatakan bawah kiri itu seksi. Dan, sebagai lelaki sejati, walau belum jatuh cinta sepenuhnya pada kiri yang seksi  itu, tapi saya cukup tergoda untuk menjadikannya sebagai senjata pembebasan di Papua plus Melanesia Trus.
Alasan dasar kenapa saya tergoda untuk menjadikan marxisme yang adalah senjata kaum buruh untuk melawan kapitalis, dan juga sebagai senjata untuk pembebasan rakyat Papua dari penjajahan negara Indonesia, bukan saja dikarenakan imprealisme yang adalah imperium dari kapitalisme telah bertahkta di Bumi Cendrawasih, dan pula bukan karena Melanesia Trus tidak seksi. Melainkan, karena kiri yang seksi itu memahami kitong orang asli Papua secara kesatuan dari Sorong sampai Merauke sebagai satu bangsa. Melanesia Trus pun demikian. Tapi inilah dasar mengapa saya merasa marxis itu relevan juga untuk dijadikan senjata gerakan pembebasan di Papua. Mengingat relevansi saja tidak cukup tanpa dasar untuk meletakan  relevansi itu sendiri, atau ibarat kitong tidak bisa bangun rumah permanen tanpa fondasi.
“Kiri” mampu mengenal kitong sebagai satu bangsa sendiri yang berbeda dengan bangsa Indonesia dapat dilihat pada artikel marxis Rusia, Stalin yang berjudul “Marxism and the National Quetion”.
“Sebuah bangsa adalah suatu komunitas orang-orang yang stabil, terbukti/ternyatakan secara historis, terbentuk di atas basis kesamaan bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi, dan make-up psikologis. (STALIN, 1913:307) Dan, …Sebuah bangsa bukan semata-mata sebuah kategori historis, tetapi sebuah ketegori historis milik dari sebuah masa (epoch) tertentu, yaitu masa bangkitnya kapitalisme.” (STALIN, 1913:313)
Kitong yang mendiami land of Paradise dari Sorong sampai Merauke adalah sebuah bangsa sebagaimana dikatakan oleh Stalin. Karena kitong bukanlah komunitas orang-orang pada masa perbudakan atau feodelisme yang terbangun atas penaklukan-penaklukan satu klan dengan klan yang lain. Hingga penaklukan berikutnya. Juga, bukan kategori rasial, berdasarkan kesamaan rupa dan bentuk fisik.
Tapi, Kitong adalah sebuah bangsa, sebab kitong merupakan sebuah komunitas yang relatif stabil yang terbentuk hanya setelah masuknya injil di Pulau Mansiman-Mnukwar 5 Februari 1855 sebagai perintis masuknya kapitalisme melalui penjajahan Belanda hingga Indonesia.
Dan, masih ada beberapa pemahaman atau penilaian dari marxisme yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menyatakan kitong ini siapa secara kesatuan dari Sorong-Merauke. Seperti; dari segi bahasa, wilayah, kesamaan proses ekonomi; kohesi ekonomi, kesamaan make-up psikologis yang termanifestasi dalam kesamaan budaya, dan definisi total yang dapat membenarkan kitong sebagai sebuah bangsa. Sehingga kitong dapat menuntut kitong pu hak sebagai sebuah bangsa kepada bangsa Indonesia untuk merdeka sebagaimana bunyi  materi dalam mukadima UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
Dasar kalau “kiri” atau Marxisme itu relevan adalah karena kiri dapat melihat kitong sebagai sebuah bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Dan bukan sebaliknya, hendak mau melihat kita sebagai bangsa terhilang dari dua belas suku Israel. Seperti yang Zionkids dong bilang. Atau hendak menganggap kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Pula menurut saya, yang tergoda dengan pandangan pertama ketika beradu pandangan dengan teori kiri secara otodidak. Bahwa, jika kitong melihat marxisme sebagai pisau analisis atau alat bedah kehidupan sosial secara teori belaka. Maka kitong menghilangkan tujuan dari penemuan Karl Marx, bapak marxisme. Yang hidupnya terlunta-lunta hanya demi menyelamatkan buruh sedunia yang tereksploitasi dalam sistem yang mendewakan uang ketimbang menghormati manusia, yakni sistem Kapitalisme.
Jika kitong melihat marxisme sebagai teori gerakan pembebasan yang radikal dan revolusioner sebagaimana marxis asal Italia, sebagaimana Antonio Gramsci dalam memandang warisan pemikiran Marx. Maka kitong tidak akan melihat marxisme sebagai lembaga dogma semi-releji atau kebenaran yang absolut, melainkan memandangnya sebagai suatu aliran ide-ide yang senantiasa hidup, berkembang, dan dapat diperbaharui berdasarkan konteks. Sehingga kitong pun dapat menerapkan teori marxis seperti sang proklamator kemerdekaan Indonesia, Ir Seokarno, serta Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka dalam mendidik rakyat dan bangsa Indonesia dengan teori marxis yang telah di “bunglongkan” berdasarkan konteks untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Relevansi Marxis di Papua
Agar orang Papua bisa keluar dari “ketiak” negara dan menciptakan sejarahnya (baca negaranya) sendiri. Maka, organisasi-organisasi sipil yang berwatak atau pun bernurani nasionalisme Papua dan organisasi-organisasi pembebasan di Papua harus membangun hegemonynya sendiri. Sebagai kanter hegemony penguasa atau membuat blok historisnya seperti kata Gramsci. Lalu menciptakan aksi massa yang revolusioner juga terencana, terorganisir, dan terpimpim untuk menciptakan sejarahnya sendiri.
Negara dan wataknya dalam upaya melanggengkan kekuasan dan kedaulatannya di Papua, jika disandingkan dengan gagasan-gagasan politik Gramsci dalam kumpulan catatannya “Selection from the Prison Notebooks” yang ditulis selama dia di penjara. Maka, tampak apa yang dimaksud Gramsci tentang hegemony, dan itu serupa dengan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Papua.
Kepatuhan diciptakan negara dengan cara persuasif untuk melanggengkan kekuasaannya, sebagai kelas penguasa di Bumi Cenderawsih melalui produk-produk hukum, maklumat Kepala Kepolisian Daerah (KAPOLDA) dan kebijakan negara (Otsus, UP4B, transmigrasi, pembagian sertifikat tanah, perayaan hari-hari nasional, dll). Selain itu juga digunakan alat kekerasan (TNI/POLRI) untuk menekan ideologi rakyat Papua secara kekerasan agar tunduk dibawah ketiak negara. Hal ini sama seperti titik awal pandangan Gramsci tentang hegemony.
Titik awal pandangan-pandagan Gramsci tentang hegemonymenurut Roger Simon dalam buku “gagasan-gagasan politik Gramsci” adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasif. Sebelas duabelas dengan watak negara di Papua hari ini.
Hemat saya, bahwa selama belum ada theologi pemberontakan (pembebasan) di Tanah Papua–tanah yang diklaim sebagai tanah injil. Maka selama itu pula, hanya “si kiri” yang seksi itu saja yang mampu menelanjangi kapitalisme dari jubah kebesarannya secara ilmiah dengan ketuntasan dan ketajaman yang tajam. Sehingga marxisme bukan saja relevan secara ilmiah untuk menganalisis perkembangan ekonomi politik yang memperbudak manusia  di  Papua hari ini dan nanti.
Tapi juga relevan untuk dijadikan sebagai senjata gerakan kiri dan pembebasan di Papua. Mengingat sudah ada perusahan-perusahan raksasa di dunia yang beroperasi di Papua dengan jumlah buruh ribuan. Misalkan PT. Freeport Indonesia yang mempekerjakan 7.000 karyawan reguler, termaksud 126 tenaga kerja asing. Disamping itu, PTFI juga menyerap sekitar 20.000 tenaga kerja yang berasal dari kontraktor yang disewa.
“Jumlahnya sangat terukur. Saat ini setiap pekerja di PTFI 29.000 orang. 7.000 karyawan reguler dan dari 7.000 hanya 126 saja orang asing” Kata EVP Human Resources and Security PTFI, Achmad Ardianto di Tembagapura Mimika. Detikfinance, Kamis (26/4/2018).
Sementara BP Tangguh Migas di Kabupaten Bintuni-Papua Barat mempekerjakan sekitar 7.000 karyawan di proyek konstruksi Tangguh, sebanyak 30%-nya adalah orang Papua. Ini baru di kontruksi Tangguh.
“Dari sekitar 7.000 karyawan di proyek konstruksi Tangguh, sebanyak 30%-nya adalah orang Papua. Mereka anak-anak muda yang baru lulus sekolah untuk dilatih dan dibina,” ujar Amien Sunaryadi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksanan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK MIGAS) kepada Bisnis.comRabu (31/ Januari/2018)
Dan jika ditambah pekerja di MIFE ketika nanti beroperasi. Maka sudah pasti akan ada berjuta-juta buruh di Papua. MIFE sendiri kemungkinan akan mempekerjakan ± satu juta manusia sebagai pekerja di lahan seluas 1,2 juta hektar siap pakai. Dan setiap satu hektar itu membutuhkan satu orang pekerja, seperti kata Jokowi, ketika bertemu masyarakat pemilik tanah ulayat di Merauke. MIFE akan menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat Papua di Merauke.
Catatan saya
Setelah membaca apa yang diabadikan oleh Gramsci dalam “Selection from the Prison Notebooks” yang diterjemahkan dan ditafsirkan oleh A Pozzolini dalam “Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci” dan “gagasan-gagasan politik Gramsci” yang ditulis oleh Roger Simon. Sebuah kesimpulan pribadi lahir, bahwa memang marxisme relevan di Papua.
Selain marxisme menguatkan kitong dalam pendekatan kajian post-kolonial, mengingat bukan saja Indonesia yang tidak mau mengakui dirinya sebagai kolonialisme, tapi generasi kita sendiri tidak mengakui keberadaan negara Indonesia di Papua sebagai kolonialisme. Padahal kitong tahu bahwa salah satu capaian tertinggi dalam revolusi pembebasan adalah kitong mampu membuat penguasa mengakui bahwa keberadaan dirinya adalah sebagai penjajah atau kolonial. Dan untuk memaksa negara mengakui dirinya penjajah. kitong secara sadar tidak boleh tunduk dan patuh  kepada negara.
Ketika kitong tunduk dan patuh serta menyerahakan kitong pu ideologi kepada kolonial secara sadar. Saat itu juga kitong mengijinkan kitong pu diri dan tanah dijajah. Karena bagaimana kitong mau bilang Indonesia itu kolonial? Sedangkan kitong OAP yang memiliki KTP sebagai warga negara Indonesia lebih banyak dari yang tidak punya. Pula, bagaimana kitong  mau bilang Indonesia penjajah sedangkan kitong OAP tidak sedikit yang berburu dong pu kartu kuning/kartu tanda pencari kerja dalam negara Indonesia. Bahkan kitong aktivis sendiri pun punya Kartu Tanda Penduduk yang sah sebagai warga negara Indonesia. gilanya lagi, ada yang menjadi “JUBIR” dari partai nasional milik kolonialisme.
Namun kitong tetap rasional dan kembali ke masing-masing pribadi sebagai orang-orang yang terpanggil untuk membebaskan bangsa kita. Apakah mau menggunakan teori marxis sebagai pisau bedah yang habis di ruang teori? Ataukah mau menggunakanya sebagai teori yang melandasi gerakan atau praxis pembebasan di Papua? Atau mau menggunakan keduanya; marxisme dan post-kolonial sebagai semangyang mengimbangi bodi (badan) perahu yang kita miliki untuk menyebrangi lautan revolusi menuju daratan kemerdekaan? Tergantung. Mengingat tahapan perkembangan masyarakat kita tidak mengalami perubahan yang bertahap sebagaimana tahapan perkembangan masyarakat dunia yang diteorikan sebagai sejarah revolusi sosial di Eropa, benua dimana Marxisme lahir. Serta tidak sekembar dalam objek pengamatan. Hanya sistem yang menindas objek yang diamati di sana (Eropa) dan di sini (Papua) itu sama, Kapitalisme.
Pula, kita di Papua tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman serta kemampuan individual yang dipengaruhi oleh lingkungan nasional yang disengaja oleh Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Juga, lingkungan lokal kita yang membentuk kadar dan tingkat daya tangkap terhadap sesuatu yang kita terima, yang juga sangat terbatas, tidak pernah penuh dan sempurna. Sehingga persepsi dan interpretasi kita tetang sesuatu yang relevan atau tidak relevan tidak sama, berbeda satu sama lain. Plus tidak punya konsep ilmiah untuk pembebasan. Thank’s. Salam Pemberontakan.
Kobar,  10 Agustus 2018
*Penulis Adalah Aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (SONAMAPPA)

deklarasi-1-desember-1961-di-manokwari-west-papua
(Photo Dok) Deklarasi 1 Desember 1961 di Manokwari West Papua

Oleh Dr. Socratez S.Yoman (Ndumma)
  1. Pendahuluan
Topik artikel ini penulis memulai dari pengalaman bangsa Israel.
Yohanan ben Zakkai Adalah seorang terdidik orang Yahudi yang menjadi kunci dalam sejarah bangsa Yahudi di abad pertama, 77 tahun setelah Yesus. Ketika tentara Kerajaan Romawi di bawah komando Jenderal Flavious Titus manghancurkan Jerusalem, Yohanan ben Zakkai menyelamatkan dan semua buku-buku yang menyangkut sejarah dan bahasa orang Yahudi. Dia sembunyikan dan mulai membangun sekolah untuk mengajar generasi berikut yang selamatkan diri dari pembakaran kota Yerusalem. 
Sekolah yang Yohanan dirikan menjadi fondasi untuk melanjutkan pengetahuan dan bahasa bangsa Yahudi untuk generasi ribuan tahun kedepan. Ia diangkat sebagai pahlawan moyang mereka dalam konteks pendidikan, bahasa dan sejarah. Bangsa Yahudi di Israel dan seluruh dunia menghormati Yohanan sepanjang sejarah.
  1. Sejarah Bangsa West Papua dibawah kolonial Indonesia
Pemerintah Indonesia yang menduduki dan menjajah West Papua sejak tahun 1961, kekuatan ABRI waktu itu (kini TNI) telah berjuang keras membakar semua dokumen-dokumen penting sejarah rakyat dan bangsa West Papua. ABRI mencari semua buku-buku, simbol-simbol yang berhubungan sejarah dari rumah ke rumah dan dari sekolah ke sekolah. Tindakan-tindakan seperti itu masih berlaku sampai saat sekarang ini.
  1. Penjajah biasa hancurkan 6 pilar
3.1. Pendidikan dihancurkan;
3.2. Kesehatan dihancurkan;
3.3. Ekonomi dihancurkan;
3.4. Kebudayaan dihancurkan, yaitu: kuburkan/hilangkan bukti-bukti sejarah bangsa itu sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya; dan bahasa daerah dihilangkan;
3.5. Putuskan hubungan mereka dengan leluhur dengan mengatakan leluhur itu bodoh & primitif.
3.6. Tanah mereka dirampas atas nama pembangunan nasional.
  1. Apakah bangsa West Papua mengalami situasi ini dalam koloni Indonesia?

Penulis: Presiden Baptis Papua Oleh Bapak Ndumma Socratez. S. Yoman, M.A
IWP, 12082018;22:18.

Sejarah Papua Nugini dan Papua Barat - Tabloid WANI
Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia, setelah Greenland di Denmark dan Pulau terbesar pertama di Indonesia (kalau digabung dengan PNG). Para pelaut pada masa awal menyebut pulau ini dengan sebutan “Nueva Guine” yang kemudian dalam bahasan Inggirs disebut “New Guinea”. Dari penyebutan ini yang kemudian dalam bahasa Indonesia biasanya dilafalkan”Nugini/ Papua Nugini”. Nama ini bertahan sekitar dua abad lamanya.
Setelah penjajah Belanda, Inggris dan Jerman memasuki pulau ini, mereka membagi pulau Nuguni menjadi tiga bagian. Penamaan pun disesuaikan dengan kekuasaan mereka atas ketiga wilayah tersebut. Bagian barat “West New Guinea” dikuasai Belanda sehingga dikenal dengan Netherland New Guinea. Selain nama ini, Belanda juga pernah menggunakan nama Dutch New Guinea.
Bagian Timur atau East New Guinea dikuasai Inggris dan mengunakan nama Nugini Britania yang kelak akan menjadi Papua New Guinea (PNG). Sedangkan bagian utara dikuasai Jerman yang dikenal dengan “Deutsch-Neuguinea” atau “Nugini Jerman”. Nugini yang dikuasai Jerman telah berada di bawah kekuasaan militer Australia di awal Perang Dunia I [1]
Jadi, untuk saat ini kalau kita sebut “Papua Nuguni” maka mengacu pada Papua New Guinea (PNG) mencakup wilayah jajahan Jerman yang sudah menjadi bagian dari PNG. Kalau “Papua Barat (West Papua)” mengacu pada Netherland New Guinea yang saat ini menjadi bagian dari Indonesia.
Luas keseluruhan Pulau Papua adalah 890.000 Km².(termasuk wilayah PNG). Luas Pulau Papua bagian Indonesia adalah 421.981 Km². Bagian PNG adalah 462.840 Km² dan turut menempatkan Papua Nuguni menjadi negara terluas ke-54 di dunia.
Itu artinya, pulau Papua bagian Barat tanpa memasukkan Papua New Guinea saja mencapai 4 kali luas Pulau Jawa. Kalau dengan Papua New Guinea hampir mencapai 8 kali luas pulau Jawa. Jadi, kalau anda orang luar Papua dan menanyakan suatu kejadian di Papua harus memahami kodisi masalahnya. Mengapa? Karena Papua itu sangat luas. Di Jawa yang aksesnya sudah terhubung dengan luas seperti itu saja, anda belum tentu mengetahui kejadian di kabupaten tetangga anda.
” Perlu di ketahui saat ini pulau Papua bagian Indonesia terbagi atas 2 Provinsi. Provinsi Papua dan Papua Barat. Ketiba sobat berkata Papua Barat harus mengerti konteks pembicaraannya. Nama ini dapat mengacu pada wilayah Barat Pulau Nugini atau provinsi Papua Barat “.
Dalam hal nama Papua. Ada beberapa masyarakat Indonesia yang kurang memahami antara Papua dan Irian/Irian Jaya. Padahal nama Papua digunakan lebih awal daripada Irian. Nama Irian sendiri di usulkan Frans Kaisiepo dalam Konfrensi Malino tahun 1946. Nama ini diserap dari bahasa Biak yang artinya “sinar matahari yang menghalau kabut di laut sehingga ada harapan bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian di seberangnya.[2]
Catatan: Arti nama ini ada banyak versi yang turut menyisakan kontradiksi. Ada yang mengatakan “tanah yang panas”. Ada juga yang berpendapat “tanah beruap atau semangat untuk bangkit”
Nama Irian ini pun terkadang masih salah dipahami oleh beberapa masyarakat Indonesia. Pelafalan dan penulisan yang benar adalah Iryan bukan Irian. Tetapi, waktu itu Soekarno mempromosikan nama IRIAN karena sesuai dengan akronim “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland” yang tentunya seiring dengan semangat merebut “Netherland New Guinea” dari kekuasaan Belanda[3]. Pada masa itu, Soekarno menggunakan nama Irian Barat. Setelah merebut pulau ini dari Belanda, pada tanggal 1 Maret 1973 nama Irian Barat resmi diganti menjadi Irian Jaya.
Dari proses itulah, cikal bakal lahirnya nama Irian, Irian Barat, atau Irian Jaya. Namun, pada tahun 2001, presiden Abdurrahman Wahid menghapus nama Irian Jaya dan mengembalikan nama Pulau itu kenama aslinya, Papua. Sedangkan untuk Papua bagian Timur yang dikuasai Inggris, sampai saat ini masih menggunakan nama Papua New Guinea dan sudah menjadi negara yang berdaulat.
Jadi, antara Papua dan Irian Jaya merujuk pada satu daerah yang sama. Cuma, saat ini yang telah diakui oleh orang Papua dan pemerintah Indonesia adalah “Papua” bukan Irian/Irian Jaya. Tentang asal usul nama Papua akan dibahas lebih lanjut pada arikel ini.

1. Proses Geologi Terbentuknya Pulau Nugini [Papua]

Mayoritas wilayah Pulau Nugini didominasi oleh gunung-gunng. Pulau ini secara tektonik merupakan pecahan dari lempeng Australia bagian utara. Secara geografis, pulau ini memang terpisah dari Australia, namun sebenarnya Laut Arafura yang memisahkan kedua wilyah ini tidak terlalu dalam. Artinya, kurang dari 15 m dan laut ini tidak ada selama 20.000 tahun lalu.
Pada awalnya pulau New Guinea merupakan lempeng Australia (lempeng Sahul) yang berada di bawah dasar lautan Pasifik. Tetapi, akibat adanya tumbukan lempeng (tektonik lempeng) antara lempeng benua Australia (Lempeng Sahul) dan lempeng Samudera Pasifik mengakibatkan terangkatnya lempeng Australia menjadi sebuah pulau dibagian Utara Australia. Lempeng ini terus bergerak lambat ke utara dan pegunungan di pesisir bagian utara diperkirakan masih terus bertambah tinggi.[4]
Itulah sebabanya pulau ini menghasilkan material-material yang berada dari dalam mantel terekspos dan menghasilkan banyak sumber daya alam, berupa bahan tambang seperti emas, tembaga uranium dan lain sebagainya yang tentunya masih tersimpan rapi dalam perut pulau ini.
Hamilton (1979) yang juga merupakan geologiwan modern melihat formasi pulau ini sebagai hasil tumbukan dengan sistem busur tunggal yang terbentuk di atas zona subduksi yang tenggelam ke arah utara, yaitu di bagian utara Nugini selama Periode Kreta dan Tersier Awal. Hipotesisnya adalah sistem busur ini telah bertumbukan dengan Nugini pada Kala Miosen.[5] (Pengertian: Miosen).
Dalam proses tumbukan itu perlu dipahami bahwa tumbukan berskala luas antara Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik di Nugini bukan beradu muka, tetapi menyamping, terjadi secara berentetan dari barat ke timur. Karena itu, episode tumbukan busur di Papua Barat umumnya terjadi puluhan juta tahun lebih awal daripada yang terjadi di PNG [6]
Akibat dari pulau Nuguni merupakan pecahan lempeng Australia. Kedua pulau ini banyak ditemukan flora, fauna, dan jenis batuan yang mirip. Tapi, dari segi lingkungan ada perbedaan penting di antara ke dua wilayah ini: Australia beriklim kering dan sedang. Sedangkan Nugini beriklim tropis dan selalu lembab.
Pulau ini menjadi kawasan yang secara tektonik paling rumit dan dinamis di bumi. Bagaimanapun juga, memerkirakan bentuk masa depannya sama sulitnya dengan menafsirkan masa lalunya. Seperti dinyatakan oleh Hall (2002), “Sangat sulit untuk meramalkan kemungkinan bentuk kawasan ini dalam beberapa juta tahun nanti. Logika sederhana mengindikasikan bahwa Lempeng Australia akan terus bergerak ke arah utara dan Lempeng Pasifik akan terus bergerak ke arah barat, menuju Lempeng Erasia.[7]. Sejauh ini yang telah diketahui, gerakan Lempeng Pasifik ke arah barat dengan laju sekitar 7 cm per tahun [8]
Pulau yang awalnya merupakan lempeng Australia dan bagian dari dasar laut Pasifik ini masih menyimpan segudang misteri yang belum terpecahkan. Itu artinya, masih dibutuhkan kajian-kajian yang lebih mendalam dan akurat untuk mengungkap misteri dari pulau yang menyandang beragam nama ini.

2. Kehidupan Awal, Kontak dengan Bangsa Asing, dan Penamaan Pulau Nugini

Pulau Nugini telah dihuni manusia sejak akhir Periode Kuarter (Pengertian:Kuarter). Uniknya, kehidupan manusia awal di Pulau Nugini lebih tua daripada pembentukan pulaunya. Dari segi geologi, pulau Nugini memang termasuk muda. Tetapi, ternyata masyarakatnya termasuk keturunan purba. Hal ini membuktikan bahwa pulau ini dihuni paling sedikit selama 40.000 tahun.[9]
Sistem pertanian mandiri yang dikembangkan didaerah dataran tinggi Pulau Nugini diperkirakan dimulai sekitar 7.000 SM. Hal inilah yang membuatnya menjadi “salah satu dari sedikit daerah domestikasi tanaman asli di dunia.
Sejarah Papua Nugini dan Papua Barat
Peta kuno mencakup Nusantara oleh Hartman Schedel, 1493.
Bukan hanya tertua, tetapi manusia Papua,(Melanesia) sudah mengenal sistem pertanian modern yang dikelola dengan teknologi bernilai efisien dan mengahasilkan pangan yang bernilai gizi tinggi sejak zaman dahulu kala. Harold Ross yang meneliti sistem perkebunan orang Baegu di Kepulauan Solomon: Menyimpulkan bahwa umbi-ubian punya potensi gizi dan ekonomis yang lebih besar ketimbang yang dapat kita pahami dengan latar belakang kita yang lebih condong ke padi-padian [10]
Catatan: Hal lain yang membuat pulau Nugini unik adalah jumlah bahasanya. Pulau ini menjadi satu-satunya daerah di dunia yang memiliki bahasa terbanyak. Di Papua bagian Barat memiliki sekitar 250 bahasa dan ada 800 bahasa di PNG.
Ahli botani Belanda, Chris Versteegh yang mengunjungi Jiwika tahun 1961 juga mengakui bahwa perkebunan ubijar orang Dani itu jauh lebih maju dari pada yang telah dilakukan Pemerintah Belanda di pusat penelitian pertanian Manokwari waktu itu [11]. Artinya, Orang Papua sudah mengenal sistem perkebunan yang mirip seperti surjan di Pulau Jawa itu sebelum 2000 tahun lalu. Perkebunan keladi bentul alias bete, berasal dari tahun 4000 SM. Perkebunan ubi-ubian di Pegunungan Tengah itu, berkembang seiring dengan penjinakan babi, yang telah dibawa masuk ke pulau Papua Barat sesudah 7000 SM [12]
Poin ini membuktikan bahwa pernyataan orang Papua bahwa manusia Papua adalah pemilik tanah Papua adalah kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan. Mereka sudah ada di atas tanah ini dan bahkan sebelum tanah ini terbentuk yang artinya mereka lebih awal berada di sini jauh sebelum dua gelombang nenek moyang orang Melayu tiba di Nusantara.
a. Kontak dengan bangsa Asia
Orang Barat hanya sedikit mengetahui pulau ini hingga abad ke-19, meskipun para saudagar dari Asia Tenggara telah mengunjungi Pulau Nugini sejak 5.000 tahun lalu untuk mengoleksi bulu burung Cenderawasih.
Pada tahun 500 M bangsa China memberi nama Pulau ini dengan “Tungki”. Penamaan ini berawal dari penemuan sebuah catatan harian seorang Tiangkok, Ghau Yu Kuan yang menyebut asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki. Penyebutan itu merujuk pada pulau Papua yang digunakan pedagang China. Pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut pulau ini dengan nama “Jangki”.
Kedatangan dan keberadaan bangsa China itu, dapat dibuktikan dengan adanya beberapa keturunan China di seluruh Tanah Papua seperti China Sorong,China Manokwari, China Fakfak, China Serui dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula beberapa peninggalan China seperti Guci dan piring batu yang hingga kini dipergunakan sebagai alat Maskawin. [13]
Memasuki awal tahun 700 M para pedagang Persia, Gujarat dan India mulai berdatangan ke Papua untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Mereka menyebut pulau ini dengan nama “Dwi Panta” dan juga “Samudranta” yang berarti ujung Samudra dan ujung Lautan.
Pada tahun 1300, Kerajaan Majapahit menyebut wilayah ini dengan Wanin dan Sram. Tapi, penamaan ini masih belum jelas. Apakah mengacu pada satu pulau Papua ataukah hanya mengacu pada semenanjung Onin di Fak-Fak dan Sram yang merupakan pulau Seram di Maluku. Baru memasuki tahun 1646, kerajaan Tidore menyebut Pulau ini dengan “Papa-Ua” yang artinya tidak bergabung/bersatu. Dalam bahasa Melayu bisa juga berartinya keriting.
b. Kontak dengan Bangsa Eropa
Jauh sebelum Bangsa Asia dan Eropa mengenal tempat ini, sekitar tahun 200 M, ahli Geography yang bernama Claudius Ptolemaeus (Baca tentang: Klaudius Ptolemaeus) berwarga negara Roma menyebut pulau Papua dengan nama “Labadios”.
Setelah memasuki abad ke 15 Bangsa Eropa mulai menjelajahi dunia untuk mencari jalur perdagangan dan juga produk untuk diperdagangkan. Era penjelajahan ini berlangsung dari tahun 1500-an hingga awal 1800-an. Era ini diikuti oleh perdagangan secara teratur (tripang, kulit burung cenderawasih, tempurung kura-kura, kulit massoi, dll.), yang kemudian diikuti oleh kolonisasi (dipicu oleh perdagangan), dan kegiatan misionaris. Proses ini dapat dijelaskna sebagai berikut.
Bangsa Eropa yang pertama kalinya menemukan pulau ini adalah dua orang pelaut Portugis bernama Antonio d’ Abreu and Francisco Serrano, pada tahun 1511-1513. Tapi, mereka tidak mendarat di daratan Pulau Papua. Mereka menyebut pulau ini dengan “Os Papoas”. Orang Eropa pertama yang mengunakan nama “Papua” adalah Antonio Pigafetta yang turut bertualang bersama Fernando de Magelhaens dalam perjalanannya mengelilingi bumi. Pigafetta berada di Laut Maluku sekitar tahun 1521. Penamaan Papua ini, menurut Koentjaraningrat agaknya berasal dari kata Melayu”pua-pua, yang berarti “keriting.
Sejarah Papua Nugini dan Papua Barat
Peta kuno tahun 1600-an.
Jadi, ada kesalahan pemanan selama ini.” Antonio Pigafetta bukan orang Portugis, tapi orang Italia”. Ia adalah seorang saintifik (ilmuwan) sekaligus seorang pelaut yang turut serta dalam visi keliling dunia bersama Fernando de Magelhaens. Selain itu, Magelhaens yang memimpin palayaran ini berkebangsaan Portugis. Tetapi, pelayaran yang dilakukannya atas nama raja Spanyol. Hal itu akibat konflik internal antara Magelhaens dan Raja Portugis, Manuel. Ia Meminta dukungan ke Raja Spanyol, Charles I dan dikabulkan.
Semua bukti pelayaran mereka dapat diketahui dari catatan Pigafetta. Pada 27 April 1521, Magellan terbunuh di Philipina dan misinya diteruskan oleh Juan Sebastián Elcano.
Satu hal yang membuat pelayaran ini unik adalah dari pelayaran ini pula untuk pertama kalinya, orang Eropa mengetahui keberadaan burung cenderawasih, tepatnya di dekat Irlandia Baru (sekarang sudah terbagi jadi 2 provinsi di PNG: (Baca: Irlandia Baru) pada tahun 1521. [14] dan dari pelayaram itu pula oleh Magelhaens samudra yang luas itu diberinama, Pasifik.
Penting!
” Burung surga ini menjadi salah satu objek yang paling menarik perhatian orang Eropa waktu itu. Selama bertahun-tahun mereka hanya mengetahui burung cenderawasih dari bunyinya dan spesimen tanpa kaki yang dapat dibeli di pasar. Setelah penemuan itu dan dari hasil ekspredisi Coquille dibawah pimpinan Louis Duperrey (1822-1824 ) mereka mengetahui bahwa burung ini ternyata memiliki kaki. “Orang Eropa butuh tiga abad untuk mengetahui burung cenderawasih itu berkaki”. Terhitung sejak kulit cenderawasih Paradisaea minor sampai di Seville pada tahun 1522 sampai penemuan kelompok ekspredisi di atas ini “.
Setelah masa ini berlalu, Jorge de Meneses (Portugis) adalah orang pertama yang tiba diperairan sekitar Papua pada tahun 1527. Ia menamai Pulau ini dengan “Llhas dos Papuas” yang berarti rambut keriting. Namun, ia pun hanya mencapai Biak dan pesisir utara Kepala Burung. Ia tidak sampai di daratan pulau Papua.[15]
Pada tahun 1528 Alvaro de Saavedra (Spanyol) mengunjungi tempat ini. Ia tiba di Pulau Supiori dan menemukan banyak pasir kuarsa bercampur emas. Ia menamai pulau ini “Isla de Oro” dalam bahasa Spanyol berarti “Pulau emas”. Kemudian pada tahun 1537, Hernando de Grijalva mengikuti jejaknya. Dari mereka ini tidak satu pun yang berhasil mencapai daerah yang melampaui wilayah Yapen dan Biak.
Pada Tahun 1545 Ynigo Ortiz de Retes (Spayol) mencapai muara-muara S. Ramu dan S. Sepik, sebelum akhirnya berputar kembali menuju Tidore. Dalam pelayaran kembali ini, ia singgah di suatu tempat yang sekarang disebut Sarmi. Ia juga menancapkan bendera Spanyol di muara Sungai Mamberamo dan mendeklarasikan daerah itu bagian dari kekuasaan Raja Spanyol. Ia menyebut daratan ini “Nueva Guinea” karena orang-orangnya terlihat mirip orang Afrika. Dari nama inilah kemudian dalam bahasa inggris di kenal “New Guinea” sebagaimana penejelasan di atas. Memasuki tahun 1569 pulau ini mulai dimasukkan ke dalam Peta Dunia.
Belanda mulai mengirim tim ekspredisinya ke Maluku dan Papua pada tahun 1605. Tahun 1623, Jan Carstensz (Belanda) berlayar sepanjang pantai Barat dan menemukan sebuah gunung tinggi yang diselimuti Salju Putih. Ia melaporkan temuannya itu tapi tidak dipercayai oleh bangsa Eropa lainnya. Mengapa? Kerana tidak mungkin ada salju di sekitar garis Equator 40 Lintang Selatan.[16]
Selanjutnya pada Tahun 1643, Abel Tasman (Belanda) berlayar di pesisir utara di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Britania Baru, yang menurutnya bersambungan dengan Nugini. Upaya ini merupakan kontak awal dan hubungan dengan Nugini, yang kemudian terbatas di wilayah-wilayah barat saja. Belanda belum memasuki Pulau besar Papua.
Tahun 1700 William Dampier (Inggris) mendarat di Kepulauan Karas. Ia mengelilingi pulau Salawati dan memberi nama selat antara Batanta dan Waigeo dengan Selat Dampier. Ia juga mengunjungi pesisir utara dan menemukan Mussau serta Emira di bagian utara Irlandia Baru. Ia menemukan selat yang dalam (di antara pulau ini dengan Nugini) dan menamai pulau baru ini sebagai “Nova Britannia”. Pada tahun sama, James Cook, J. Banks, dan D. Solander memastikan bahwa Nugini dan New Holland (sekarang dikenal sebagai Australia) sebagai wilayah berbeda. Mereka berlayar melintasi Selat Torres.
Sejarah Papua Nugini dan Papua Barat
Peta Papua 1700-an.
Memasuki Tahun 1781, Francisco Antonio Maurelle (Spanyol) menemukan lebih banyak pulau di Bismarck. Kemudian, tahun 1792 dan 1793 pelayaran Prancis lainnya yang mengelilingi dunia berada di perairan Nugini dan untuk pertama kalinya bersandar di Teluk Huon. Memasuki tahun 1815 Nugini didominasi oleh beberapa pelayaran besar Prancis, yang secara keseluruhan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan sejarah alam dan mengumpulkan banyak koleksi data. Hasil perjalanan mereka itu, saat ini berada di Natural History Museum Paris.[17]
Dari pembahasan di atas ada juga beberapa bangsa asing yang pernah melintasi dan singah di Pulau Nugini ini. Bangsa Amerika baru terlibat ketika tahun 1606, bersamaan dengan Pedro Ferna’ndez de Quiro memimpin ekspedisi Spanyol ke Pasifik Selatan dan menemukan Vanuatu [18]. Di susul dengan Inggris. Kapal Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang pertama kali berlayar melintasi perairan Nugini adalah Sulphur di bawah pimpinan Edward Belcher. Mereka sempat singgah di Kep. Solomon, Kairiru di pesisir utara dan Yapen [19]

3. Memasuki Penjajahan – Kolonisasi

Pada tahun 1760-an eksplorasi alam di Nugini dan pulau-pulau di sekitarnya mulai dilakukan ala kadarnya. Mereka hanya mengoleksi benda-benda yang aneh dan langka. Proses itu belanjut hingga memasuki akhir abad ke-18. Penjelajah alam mula-mula dilakukan oleh Alfred Russel Wallace yang mengunjungi daerah Kepala Burung dan Kep. Raja Ampat pada tahun 1840-an dan Odoardi Beccari dan Luigi d’Albertis yang mengunjungi Peg. Arfak pada tahun 1870-an. Selama ini Nugini merupakan wilayah yang masih belum dijelajahi. Kecuali di bagian barat, dekat lokasi perniagaan yang bisa dijangkau Rumphius dari Ambon. Baru memasuki akhir abad ke-19 eksplorasi serius mulai dilakukan di lokasi-lokasi yang belum terjamah.
Penguasaan Nugini secara resmi oleh Belanda, pembuka Terusan Suez, pengembangan pemukiman di di wilayah Australia, peningkatan perniagaan di pulau-­pulau Pasifik, bertumbuhnya perdagangan bulu burung dan keingintahuan ilmiah tentang kondisi alam membuat mata dunia terpanah untuk menjelajahi Pulau Nugini. Terlebih setelah buku “Malay Archipelago” yang ditulis oleh Wallace diterbitkan. Para penjelajah kemudian berdatangan, khususnya setelah Jerman menguasai kepulauan di bagian timur laut Nugini dan Inggris di bagian tenggaranya. Proses ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
4. Pembangian Pulau Nugini oleh Belanda, Inggris, dan Jerman.

Sejarah Papua Nugini dan Papua Barat
Pulau Nugini dibagi tiga negara.
Belanda mulai mengklaim New Guinea Barat, garis 141 Bujur Timur pada tahun 1826 [20]. Klaim ini belum dirumuskan dengan negara penjajah Inggris Raya di selatan dan Jerman di bagian utara Nugini Belanda.
Pada tanggal 24 Agustus 1828 Belanda memproklamirkan secara umum bahwa wilayah bagian Barat New Guinea dan memberi nama Nederland Niuew Guinea. Pengumuman ini ditandai dengan pendirian Pos militer dan benteng Fort Du Bus di teluk Triton, Kaimana. Batas wilayah itu mencakup sebelah barat garis 141° Bujur Timur. Pada saat inilah untuk pertama kalinya pantai selatan juga dimasukkan ke dalam koloni Belanda. Tapi, memasuki tahun 1835 pos militer itu dihapuskan karena selama delapan tahun, 10 perwira, 50 prajurit Eropa, dan 50 prajurit Indonesia gugur.[21]
Catatan: Upaya kolonisasi di New Guinea Barat, telah dilakukan oleh Inggris Pada tahun 1793 dengan membangun Benteng Fort Coronation di pantai teluk Doreh oleh 15 sampai 20 orang tentara. Tapi, usaha ini gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 17 Maret 1824 Belanda dan Inggris mengadakan pertemuan di London. Pertemuan itu menghasilkan sebuah perjanjian. Kedua negara ini menetapkan wilayah kekuasaannya masing-masing. Belanda menguasai Sumatra, Jawa, Maluku, Sulawesi, dan New Guinea bagian Barat. Sedangkan Inggris menguasai Malaya (Malaysia), Singapura dan Borneo bagian Utara.[22]
Berikutnya, pada 1883 bendera Inggris dikibarkan di Port Moresby. Seluruh daerah Nugini-Belanda serta pulau-pulau lain di antara meridian 141° dan 155° dikuasai Inggris. Memasuki tahun 1885 Inggris memproklamirkan bagian timur Nugini sebagai wilayahnya.
Tidak lama kemudian, tahun 1884 Jerman mengibarkan bendera di Kep. Bismarck dan bagian barat Kep. Solomons. Pada tahun yang sama, Jerman mengambil alih Nugini-Belanda Utara. Jadi, besarnya perhatian pihak lain terhadap Nugini-Belanda telah mendorong Belanda agar lebih memperhatikan wilayah koloninya ini.[23]. Dari situlah cikal-bakal Pulau terbesar kedua itu di bagi tiga negara.
Memasuki tahun 1895 Inggris mengakui klaim Belanda atas wilayah Nederland Niuew Guinea dan di susul oleh pengakuan Jerman pada tahun 1910. Garis batas Internasioanl yang memisahkan Papua Nugini (Papua Timur) dan Papua Barat (West Papua ) masih berlaku hingga saat ini.
a. Pemerintahan Belanda di West Nugini (Papua Barat)
Pada tahun 1898, parlement Belanda mengesahkan anggaran sebanyak f. 115.000 untuk pertama kalinya membangun Pemerintahan di Papua. Pemerintahan ini diberi nama Resident Nederland Niuew Guinea. dengan Gubernurnya, Hier Rust. Penamaan yang digunakan belanda ini secara langsung merujuk pada penamaan awal Nova Guinea yang menandakan bahwa Penduduk Nugini memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan penduduk Nederland Indies. Mereka berkulit hitam dan berabut keriting yang tentunya berbeda dengan bangsa Melayu[24]
Catatan: Jauh sebelum proses ini: Zending Protestan sudah sejak 1855 menetap di Nugini-Belanda dengan ditugaskannya zendeling C.W. Ottow dan J.G. Geissler di Mansinam
Pada tahun yang sama pemerintah Belanda mulai mendirikan pos-pos pemerintahan di Pantai Barat Fak-Fak dan di pantai barat-laut Manokwari. Pos ketiga di Pantai tenggara Merauke pada 1902. Pendirian pos ketiga ini, karena gangguan yang dialami oleh pemerintah Inggris akibat serangan dan penjarah suku Marind-Anim dari pantai tenggara Nugini-Belanda. Belanda berusaha mendirikan pos-pos pemerintahan, mengeksplorasi daerah pedalaman memasuki tahun (1900-1930) dan menaklukkan puncak-puncak gunung yang penuh tantangan di Papua. Selanjutnya, Belanda menancapkan bendera Belanda di Hollandia (Sekarang Jayapura) pada tangga 7 Maret 1910, tepatnya di wilayah perbatasan Jerman New Guinea di bagian Utara.
Pada masa ini pembangunan dan ekspredisi telus dijalankan hingga kepelosok-pelosok Papua. Pembangun hanya nampak di daerah pesisir. Pada tahun 1930-an ekspedisi biologi yang berkolaborasi antara Belanda, Inggris dan Amerika dilakukan ke pelosok pedalaman. Ekspedisi yang paling terkenal ini dipimpin oleh Richard Archbold. Pada ekspredisi ini pula, mereka menemukan Lembah Baliem yang padat penduduknya pada tahun 1938.
1. Pembangunan di Nugini Belanda
Saat itu pembanguan di Nugini Belanda bisa dibilang sangat kalah jauh dengan Nugini Britain. Pembangunan itu termasuk pembangunan fisik maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Poin ini yang membuat kagun Schoorl saat berkujung ke Papua Nugini waktu itu.
Kesaksian Choorl: 
” Lalu-lintas penerbangan di atas Nugini-Australia menyentak saya: sangat ramai, dengan pesawat besar dan kecil, karena sebagian besar lalu-lintas manusia itu melalui udara. Dalam hal ini Nugini-Belanda tertinggal jauh. Di pedalaman banyak jalan di mana terutama digunakan Landrover dengan roda besar. Jalan di sana juga melalui daerah-daerah kosong. Jalan-jalan itu jelek; kubangan di tengah jalan dan longsoran di tepi jurang.Saya berkesempatan mengunjungi perusahaan pendulang emas di daerah Sungai Sepik. Di sana para pekerja Papua hanya dapat membelanjakan upah mereka di sebuah toko pemerintah. Kalau tidak salah, mereka terikat kontrak dengan perusahaan dan seusai kontrak dapat meninggalkan perusahaan dengan membawa hasil kerja mereka. Mereka kelihatan sehat-sehat dan semua berpakaian layak.[25] “
Setelah Perang Dunia II, Belanda melakukan lebih banyak upaya pembangunan infrastruktur yang sebagian besar telah dimulai oleh para misionaris dan memberikan pelayanan kesehatan serta pendidikan bagi rakyat Papua. Sepanjang tahun 1950-an, pengembangan ekonomi diharapkan dari eksplorasi dan pengolahan hasil tambang, khususnya cadangan-cadangan minyak dan sumber daya kehutanan yang sangat luas dan dari perkebunan kelapa, coklat, serta pala yang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang non Papua.
Penyebab utama West Papua tertinggal jauh dari East Papua dapat dirangkum menjadi tiga:
  • Dominasi orang-orang luar Papua yang dibawah Belanda khususnya Nederland Indies untuk diperkerjakan oleh Belanda di Papua.
  • Letak Belanda yang jauh dari Papua. Tidak seperti PNG, Australia terletak di Pasifik.
  • Meningkatnya tekanan Indonesia dan Amerika atas Belanda.
Pernyatan lainnya adalah Drooglever dalam bukunya sempat menyingung akan hal ini. Posisi-posisi menengah di Nugini Belanda di isi oleh orang Nedeland Indies yang didatangkan Belanda. Sementara Orang Papua menjadi masyarakat kelas bahwa. Hal senada juga kembali dinyatakan Schoorl bahwa dalam penerimaan tenaga kerja, di Nugini-Australia menerapkan aturan yang tidak menerima tenaga kerja selain Australia dan pribumi. Selain itu Rosmaida (2013:232-233) juga menyatakan hal yang sama.
Kesalahan dan kelemahan Belanda inilah yang membuat Nugini Belanda tertinggal. Selanjutnya dimanfaatkan Indonesia untuk menanam nasionalisme Indonesia dikalangan orang Papua melalui para pendatang yang dibawa Belanda.
2. Membentuk Negara Papua Barat
Memasuki Tahun 1950-an Indonesia gencar berdiplomasi dan berjuang untuk merebut Nugini Belanda. Ketika jalur diplomasi berakhir buntuh, Indonesia memilih jalan konfrontasi dengan Belanda. Indonesia membangun basis militer dangan mayorita persenjataan yang didukung Rusia. Memasuki tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan UU nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia.
Satu hal yang jarang diketahui orang adalah ketika pemerintah Belanda mencoba berdiplomasi dengan Indonesia soal Nugini-Belanda. Australia dibahwa kepemimpinan Menteri R.G. Menzies. Ia penah mengatakan apabila “Belanda akan melepas Papua, Australia akan bersedia untuk mengayomi wilayah itu. Bagi Belanda tawaran seperti itu kelewatan batas. Dilematisnya, dilain pihak Belanda sudah membuat perjanjian di KMB melalui Van Maarseveen kepada Indonesia, bahwa Belanda tidak pernah akan mengalihkan Papua kepada pihak ketiga di luar Indonesia”.[26]
Belanda yang sudah mengetahui rencana besar Indonesia, pada tanggal 5 April 1961 membentuk Nieuw-Guinea Raad atau yang kemudian dikenal Dewan Perwakilan Rakyat Niew Guinea. Proses pemilihan dilakukan secara demokratis dan berjalan lancar. Dalam pembentukan dewan inilah segala atribut kenegaraan di tetapkan, dengan nama negera “Papua Barat” (West Papua). Penamaan ini tentu karena wilayah tenggara (sekarang PNG) juga ketika berada dibahawa Australia penah mengunakan nama Papu
Tujuan dari pembentukan ini untuk memberi kemerdekaan atas Papua sesuai dengan hukum internasional yang mengatur tentang pemberian kemerdekan bagi daerah-daerah koloni. Pada saat acara pembukaan itu salah satu tokoh Papua, Nicolas Jouwe dalam pidatonya mengingatkan bahwa berdirinya dewan merupakan buah karya Van Eechoud, yang karena itu wajar ia dapat menyandang nama bapa orang-orang Papua. [28]
Dari segi pendidikan, mulai nampak ketika memasuki tahun 1960-an. Jumlah orang yang diberikan kesempatan untuk sekolah di luar negeri meningkat. Pada tahun 1960, 29 orang Papua bersekolah di Belanda dan tahun 1961, jumlahnya meningkat menjadi 50 orang untuk mengikuti sekolah-sekolah lanjutan. Ada juga siswa-siswa Papua yang dikirim ke Australia dan Fiji untuk pendidikan kedokteran atau teknik radio[29]
Kekuasaan Belanda di Papua Barat baru diakhiri tanggal 1 Oktober 1962, sesuai dengan ketentuan Perjanjian New York, tanggal 15 Agustus 1962, antara Belanda dan Indonesia, yang diperantarai oleh diplomat AS, Eslworth Bunker.[30] Penyerahan ini juga turut mengakhiri semua rancangan program Belanda untuk Papua Barat dan harapan kemerdekaan orang Papua. Belanda sudah menyusun program jangka pendek menengah dan jangka panjang. Di mulai dari tahap awal mempersiapkan sumber daya manusia Papua sampai dengan pemberian kemerdekaan sesuai dengan hukum Internasional. Semuanya, di rampas Indonesia.
Belanda berjanji, pada pemerintah Indonesia untuk menyumbang bantuan sebesar US$30 juta untuk mendanai pembangunan Irian Barat melalui Fund of the United Nations for the Development of West Irian sebagai bagian dari persetujuan dekolonisasi. Dengan keluarnya Indonesia sebagai anggota PBB, dana tersebut baru di cairkan pada tahun 1966 [31] yang kemudian digunakan Indonesia untuk pembangunan transmigrasi dan pengamanan pelaksanaan Pepera di Papua.
Pada bulan Februari 1966, seratus kepala keluarga dari Jawa diberangkatkan dengan kapal, sebagai bagian dari program penempatan penduduk oleh pemerintah. Sebagian dari mereka akan ditempatkan dekat Soekarnopura, dan sisanya dekat Merauke bagian Selatan. Lahan mereka dirampas dari pemilik tradisionalnya. Di sini tidak perlu disebutkan bagaimana prosedur penguasaan atas lahan tersebut.
Pada bulan Juli-Agustus 1969 Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) berlangsung. Sebanyak 1025 orang di seleksi dari delapan daerah. Dari jumlah itu, 1.020 orang wakil dengan suara bulat menyatakan bergabung dengan Indonesia. Lima orang di antaranya tidak hadir. Satu orang dilaporkan dieksekusi karena ia tidak mau mengikuti naskah yang telah didiktekan sebelumnya oleh Indonesia selama Pepera berlangsung [32]
Dalam PEPERA ini banyak kecurangan yang dilakukan Indonesia, bahkan sampai memasuki tahun 1980-an operasi-operasi militer masih terus dilakukan Indonesia. Banyak catatan sejarah membuktikan bahwa sudah ratusan ribu rakyat Papua gugur ditangan militer Indonesia.
Protes rakyat Papua atas kecurangan-kecurangan itu, hingga saat masih terus berlajut. Menurut Adijondro proses itu meninggalkan tiga paham besar di kalangan orang Papua. Ada tiga kelompok besar paham kebangsaan yang hidup di kalangan orang Papua:
  • Paham kebangsaan suku (ethnon ationalism)
  • Paham kebangsaan “Merah Putih”
  • Paham kebangsaan Papua [33]
Dari 3 poin paham di atas ini, Dihai menambahkan satu poin paham nasonalisme di Papua, yakni “Nasionalisme Musiman” kelompok ini pahamnya bersifat pramatis dan dinamis. Mereka bisa berada di kelompok mana saja dan turut menyesuaikan dengan kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Dan jika saya ditanya ada diposisi paham yang mana? Maka saya akan menjawab. Saya bukan Merah Putih, saya bukan suku Mee tetapi saya adalah bangsa Papua.Bisa baca lebih lanjut:
3. Nugini Timur (Papua Nugini-Nugini Jerman)
Kehadiran Inggris di wilayah Nugini Timur alias Papua New Guinea mulai berlangsung antara tahun 1760-1815. Pada masa ini Ekspedisi baru pertama dilakukan oleh Philip Carteret dari Inggris. Ia mengunjungi berbagai bagian Pasifik barat daya, Solomon barat laut dan Britania Baru pada tahun 1767 dan sempat singgah di Bougainville. Jejak ini diikuti oleh Louis Antoine de Bougainville dari Prancis pada tahun 1768 bersama dengan Philibert Commerson mengunjungi bagian pesisir tenggara, Kep.Louisiade dan wilayah utara Kep.Solomon dan wilayah barat daya dan Irlandia Baru sebelum menuju ke Jawa[34]
Sejarah Papua Nugini dan Papua Barat
Peta Teritori Papua dan Teritori New Guinea (PNG).
Eksplorasi skala besar di Nugini Jerman baru dimulai antara tahun 1884-1914 setelah wilayah Nugini Inggris dan Nugini Belanda. Selain Miklucho-Maclay, sebelum tahun 1885 “pelopor” satu-satunya di daratan Papua adalah F. H. Otto Finsch. Naturalis dan pakar geologi berkebangsaan Jerman ini meneliti seluruh pesisir timur Nugini sebagai bagian dari pelayarannya ke seluruh dunia (1880-1885). Memasuki tahun 1899 kegiatan perdagangan dan penjelajahan di bagian timur laut sebagian besar dilakukan oleh bangsa Jerman, melalui perusahaan negara Neu Guinea Compagnie. [35]
Setelah Inggris diduduki Australia. Mereka mulai tertarik untuk menduduki Nugini bagian Timur. Pada tahun 1846 Letnan Yule dan disusul kapten Moresby pada tahun 1873 mengklaim wilayah Nugini Timur milik Inggris. Tapi, klaim itu masih bersifat personal.
Pada masa ini pemerintah Inggris yang sudah banyak menduduki daerah orang kulit hitam di Afrika dan Australia merasa kurang tertarik dengan wilayah itu. Namun, negarawan terkenal di New South Wales, Henry Parkes menyatakan bahwa “Australia akan merasa aneh dan janggal kalau kekuatan lain bercokol di wilayah Timur Nugini”.
Pernyataan Parkes ini, dan meningkatnya perhatian Jerman atas pulau ini menjadi dorongan bagi pemerintah Queensland untuk mendesak pemerintah Inggris agar menguasai Nugini Timur. Pertimbangan biaya atas penguasaan wilayah itu dan sikap skeptis Inggris atas pengaru Jerman membuat Inggris belum sepenuhnya tertarik atas wilayah itu, kecuali seluruh koloni Inggris di Australia siap membantu biaya untuk menduduki tempat itu. Bahkan sampai tahun 1877 emas ditemukan di bagian Selatan Nugini, Inggris belum begitu tertarik.
Memasuki tahun 1847 orang Eropa mulai mendirikan pemukian di Moyua dalam misi penyebaran agama Katolik. Setelah 8 tahun berlalu, misionaris protestan khususnya Anglikan dan metodis masuk sepanjang wilayah pesisir Selatan pada 1870. Gejera Anglikan memulai misinya di Dogura dan Dobu. Sedangkan Metodis di Dobu.
Pada tahun 1873 kapten John Moresby, meneliti pelabuhan DNC (National Capital Distric) dan menamai dua pelabuhan dengan Fairfax dan Pelabuhan Moresby. Penamaan ini untuk menghormati ayahnya, Laksamana Fairfax Moresby. Pada tahun 1874, Williarn G. Lawes mendirikan markas besar Masyarakat Missionaris London di dekat Hanuabada.
Dari situ misionaris London mulai melakukan misinya di sepanjang Pantai Central pada tahun 1873. Pemerintah Inggris baru datang pada tahun 1884. Memasuki tahun 1885, misi Katolik Roma membuat markas besarnya di Pulau Yule. Perusahan karet dari Eropa mulai didirikan di derah Sogeri, tepian sungai Kemp Welch. Memasuki tahun 1908, untuk pertama kalinya Gereja Masehi Advent memulai misinya di Papua Nugini, di dekat daerah Sogeri.
Kepada pemerintah Inggris, Jerman mengatakan mereka siap menduduki Nugini Timir. Memasuki tahun 1883 kepala pemerintahan Queensland, Sir Thomas Macllwraith menyatakan akan bertindak apa bila pemerintah Inggris tetap tidak bersedia. Inggris masih menolak. Macllwraith mengutus seorang hakim untuk menancapkan bendera Inggris sambil menyatakan bahwa Nugini Timur menjadi milik Inggris. Keputusan Queensland itu, didukung seluruh koloni Inggris di Australia. Selanjutnya, mereka mendesak Ingris untuk bertindak.
Akibat desakan itu, pada bulan November 1884 Inggris mengklaim Nugini bagian Timur. Pada tahun 1885 Inggris memproklamasikan wilayah itu dan menyerahkan kepemimpinannya (secara defacto) kepada negera bagian Queensland sampai tahun 1901. Tapi anggaran belanjanya, ditanggung bersama oleh keenam koloni. Memasuki tahun 1904, Inggris menyerahkan pengusaan wilayahnya “Nugini Britania” kepada Australia. Dari tangan Australia, nama wilayah ini diubah menjadi Papua.
Selanjutnya, saat perang dunia I. Australia berhasil menduduki wilayah “New Guinea Timur laut (Nugini Jerman) pada 2 Mei 1921. Kemudian Australia diberi mandat oleh liga bangsa-bangsa untuk memerintah wilayah Nugini Jerman dan oleh Autralia wilayah ini diberi nama “New Guinea”.
Papua dan Nugini merupakan kedua wilayah yang berbeda baik secara defacto maupun de Jure, meskipun sama-sama dibawah kekuasaan perintah Australia. Teritori Nugini merupakan mantan jajahan Jerman yang direbut Australia (baik de jure maupun defacto). Sedangkan Teritori Papua adalah Jajahan Inggris (de jure) yang diperintah Australia secara de fecto. Kedua teritori ini digabungkan pada tahun 1949 dan memasuki tahun 1972 digambungkan menjadi “Papua Nugini”. Selanjutnya, pada 16 September 1975 teritori ini memperoleh kemerdekaan penuh dari Australia dengan nama negara “Papua New Guinea”.


Sumber Utama acuan artikel:
1. Kartikasari, Sri Nurani, dkk. 2012. Seri Ekolog Indonesia Jilid VI: Eklogi Papua. Jakarta: Obor.
  • [1] lihat hlm 43.
  • [4] lihat hlm 5.
  • [5] lihat hlm 76
  • [6-8]lihat hlm 84
  • [7]lihat hlm 89
  • [9] lihat hlm14
  • [14]lihat hlm20
  • [17]lihat hlm 33
  • [18]lihat hlm21
  • [19]lihat hlm 25
  • [20]lihat hlm 16
  • [27]lihat hlm 5
  • [29]lihat hlm 651
  • [31lihat hlm 678
  • [32lihat hlm 645
  • [34lihat hlm 22
  • [35lihat hlm 33
2. Koentjaraningrat.1994. Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan.
  • [2-3] lihat hlm 4
3. Jhon Anari. 2011.Analisis Penyebab Konflik Papua Dan Solusinya Secara Hukum Internasional.
  • [13] lihat hlm 83
  • [15] lihat hlm 87
  • [16] lihat hlm 88-87
  • [22] lihat hlm 89
  • [24] lihat hlm 18
4. Drooglever.2010. Tindakan Pilihan Bebas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  • [25] lihat hlm 232
  • [28] lihat hlm 548
5. Choorl. 2001. Belanda di Irian Jaya. Jakarta. Garda Budaya
  • [21-23] lihat hlm 2
  • [25] lihat hlm 266
6. Aditjondro, George . J. 2000. Cahaya Bintang Kejora. Jakarta. ELSAM
  • [10] lihat hlm 281
  • [11] lihat hlm 283
  • [12] lihat hlm 274-274
  • [30] l
Sumber diadaptasi penulis:
  1. Kamma. 1981. Ajaib di Mata Kita. Jilid 1: BPK Gunung Mulia
  2. Syaiful Bachri.2013.Peran Sistem Tunjaman, Sesar Mendatar Transform Dan Pemekaran Terhadap Sebaran Cekungan Sedimen Di Indonesia. Jakarta: Jurnal Geologi Indonesia. Vol.14,No.1.
  3. Wikipedia. 2018. Papua Nugini. https://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini. Diakses pada Februari 2018.
Copyright ©Dihaimoma “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tolikaratoday@gmail.com
Diberdayakan oleh Blogger.