Oleh Simon Banundi
Judul Buku : Suara Suara yang Dicampakkan
Penulis : I Ngurah Suryawan
Kata Pengantar : Victor Yeimo
Jumlah Halaman : 248
Penerbit : Basabasi – Yogyakarta
ONTRAN-ontran tak berkesudahan di Bumi Papua ini dipotret Kaka Ngurah (sa suka menyebut Pak Dosen Antroplogi Unipa yang satu ini kaka saja) dari disiplin keilmuaannya dan sebagai wujud pengabdian seorang akademisi tulen yang serius mengabdi bagi rakyat Papua. “Suara – Suara Yang Dicampakkan” ini ditulis secara menakjubkan pada bukunya yang baru diterbitkan oleh penerbit BASABASI, Yogyakarta tahun 2018.
Semula sa lihat cover buku ini dikirim via WA (WhatsApp) ke saya, ketika (saat itu) mengetahui seorang aktivis Victor Yeimo memberi kata pengantar pada buku ini saya berprasangka biasa saja. Namun, ketika membaca dan mendalami konten buku ini sa baru menyadari mengapa sang aktivis Viktor Yeimo sebagai ketua KNPB (Komite Nasional Papua Barat) adalah sosok yang sa bilang jitu (tepat) untuk memberi kata pengantar kepada “Suara Suara Yang Dicampakan”, message-nya Kaka Ngurah dan Victor Yeimo seperti bermain alat musik yang berbeda tetapi hanya untuk sebuah intro nada yang satu /sama.
Kaka Ngurah, dosen yang sangat hebat skali dimiliki Unipa (Universitas Papua) Manokwari, dia mampu meramu capacity akademisinya, menulis untuk mayoritas rakyat kecil Papua dari berbagai kalangan dan faksi-faksi yang suaranya tra diakui, trada izin, dan dianggap ormas (organisasi kemasyarakatan) terlarang, pengganggu kamtibmas, separatis/maker dan embel-embel stigma lainnya yang tra tau mo tambah apa lagi…!
Pada suatu direct-flight Garuda (GA-656), Jakarta – Jayapura, karena penerbangan malam itu selama lima setengah jam, saya kemudian gunakan waktu tra tidur untuk habiskan dengan membaca buku yang satu ini. Sa bukan latar belakang antropologi. Akan tetapi sa melihat buku ini memuat discourses riset yang menawan dituangkan kaka Ngurah
Dimulai dari, Ia (baca: saya) merasakan ada kesalahan dalam perspektif memahami kontribusi ilmu pengetahuan dalam perubahan sosial di tengah masyarakat Papua, dari meyakini kesalahan itu, saya kemudian meyakini bahwa ilmu pengetahuan ilmu sosial humaniora mengalami kekalahan di tengah arus perubahan di tanah Papua. Ilmu pengetahuan menjadi alat untuk kekuasaan dan universitas hanya perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah. Dalam konteks itu, studi ilmu humaniora harus mereposisi diri tidak hanya jadi pelayan kekuasaan, tapi menjadi medium bagi rakyat yang dikalahkan oleh kekuasaan (hlm. 24-25).
Negara dengan aparatusnya mempraktikkan kekerasan dan kekuasaan, akhirnya merenggut kemerdekaan rakyat Papua untuk menyuarakan aspirasinya. Menurut C. Wright Mills, semua politik adalah perjuangan kekuasaan, dan bentuk kekuaaan paling puncak adalah kekerasan. Operasi kekerasan berlangsung untuk menjaga kekuasaan tetap langgeng atas Tanah Papua (hlm. 67).
Di Tanah Papua, peristiwa kekerasan tidaklah berdiri sendiri. Momen-momen tragedi kekerasan melibatkan para aktor, struktur yang mengakibatkan atau mendorong kekerasan berlangsung serta argumentasi (alasan) yang dikonstruksi agar kekerasan tersebut berlangsung wajar dan terkesan memang bisa diterima dan terjadi di tengah masyarakat.
Salah satu hal saja yang menjadi penafsiran terus-menerus adalah nama dari Papua itu sendiri, yaitu dari Nethderland Niew Guinea, West Niew Guinea, Irian Barat, Irian Jaya hingga kini menjadi Papua (dan Provinsi Papua Barat). Keseluruhan nama tersebut mengalami ketidakstabilan makna yang mengacu kepada kepentingan kekuasaan di dalamnya. Setiap masa tanah Papua mengalami perubahan nama dengan berbagai makna di dalamnya (hlm. 147).
Memelihara hantu separatis, “stigma separatis menjadi senjata dari negara untuk membungkam ekspresi kebebasan rakyat Papua untuk mengkritisi kebijakan dan penanganan negara di Tanah Papua ”, pemahaman aktor keamanan negara terhadap ekspresi budaya Papua hanya terbatas pada stabilitas keamanan nasional di Papua dilakukan dengan berbagai cara, sehingga pemahaman terhadap situasi sosial budaya masyarakat sangatlah kurang, bahkan bias dan diskriminatif (hlm. 167-168).
Masyarakat adat di negri ini (Papua) dalam sejarahnya seolah terjepit oleh dua kepentingan besar yang terus mengikutinya. Pertama, kepentingan untuk terus menjaga dan melestarikan tradisi, adat dan kebudayaan yang telah ada selama ini; Kedua, kepentingan transformasi social-budaya yang secara masif menantang dengan memunculkan berbagai dilema, selain berkelindan dengan politik, fokus perhatian dan kapasitas untuk memperjuangkan kapasitas masyarakat adat saat ini justru mendapati tantangan stigma subversif atau separatis (hlm. 189).
Buku ini teramat menyentil isu sipol (hak-hak sipil dan politik) yang bagi saya telah diratifikasi pemerintah RI ke dalam hukum Indonesia (lihat UU No.12 Tahun 2005 dan UU No. 9 Tahun 1998). Akan tetapi, isu tersebut menjadi “terbudaya-bisu” yang dilukiskan oleh penulis berlatar belakang antropolog ini. Tidak hanya di situ saja, kritik tegas juga dilayangkan penulis tanpa basa-basi ke aktor birokrasi dan aktor keamanan, serta jagoan lokal yang selama ini memporak-porandakan rakyat yang telah mengalami kebisuan.
The last comment-nya, buku ini muncul di momen-momen (menjelang) tahun politik, pilkada, pileg dan pilpres (2018-2019). Di sinilah nilai bargaining-nya “Suara-Suara yang Dicampakan”. Saya meyakini, separuh kalangan elite politik buta soal memaknai konteks ini, karena mereka diprogramkan sistem, sebagian lagi tengah menyangkal hati nurani demi menjaga poros politik. Dari situ, buku ini sangat tepat dibaca oleh para aktivis, pengacara HAM, akademisi, mahasiswa, pers, sehingga dapat memperluas persepsi pribadi kita yang kritis, netral dan terutama berpihak pada justice and human rights to “Suara suara yang dicampakan”. Salam hormat kaka penulis Ngurah ..!
Peresensi adalah Koordinator Program LP3BH Manokwari, Papua Barat
Posting Komentar